Rabu, 29 September 2010

Merobek Al-Quran dan Mengoyak Umat

Saat seorang pendeta yang tidak terkenal hendak membakar mushaf Al-Quran, umat merasa terbakar. Sebafian kita menyikapi dan menilai langkah ini akan mengancam dan meruntuhkan bangunan Islam. Seakan membakar mushaf akan mengapus Al-Qur’an dari eksitensinya.

Kebanyakan orang memperkirakan bahwa pendeta yang anak perempuannya menyebut ayahnya hilang akal, dimana gerejanya hanya berjamaah tidak lebih dari 50 orang mengumumkan langkah ini hanya mencari sensasi dan popularitas. Dan targetnya berhasil. Hal itu dibantu oleh media dan pejabat publik tanpa merasa bertanggungjawab. Padahal, jika kita keluar berdemo mengecam orang yang mengalami gangguan jiwa, ia tidak akan merasa terganggu. Justru demo itu akan menimbulkan kepuasan tersendiri dalam diri di penderita sakit jiwa. Ia akan merasa menjadi orang penting dan berpengaruh.

Pantas bagi si pendeta – penulis tak perlu sebut namanya karena memang tidak penting – mendirikan sebuah lembaga pendidikan dan pelatihan meraih popularitas internasional dalam waktu kurang dari sepekan.

Bayangkan jika dia melakukannya (membakarnya) jauh dari gegap gempita media dan teriakan pejabat, tak seorang pun peduli, apakah akan membahayakan Islam sedikitpun? Apa yang terjadi jika kita ikuti petunjuk Al-Quran dan kita berpaling dari aksi bodoh itu?

وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

“serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (Al-A’raf: 199)

Bumi ini dihuni oleh lebih dari 6 milyar manusia. Dari jumlah besar ini ada banyak orang yang dengki dan sakit jiwa. Kita tidak akan mampu menghimpun manusia dan orang yang melecehkan simbol-simbol kita di dunia ini. Maka solusi terbaik menyikapi mereka adalah “anggap mereka bodoh, masa bodoh dan menghindar”. Sebab jika merespon, hal itu akan merangsang orang-orang bodoh itu akan terkenal dan merasa penting. Dan inilah yang saat ini terjadi di dunia.

Kita terjatuh dalam kesalahan yang sama ketika terjadi krisis karton melecehkan Nabi Muhammad. Kita memposisikan orang-orang iseng itu menjadi pahlawan di mata bangsa mereka. Bayangkan, pada saat krisis kartun nabi Muhammad, kita sendiri yang mengubah sosok tidak dikenal di negeri yang tidak terkenal menjadi orang lebih terkenal dari pada “api di bendera”. Kita bakar foto-fotonya dalam aksi unjuk rasa. Kita sebarkan foto-fotonya di web-web. Ketika ia kita kecam, ia dipuja-puja oleh bangsanya dan mendapatkan nobel perngharagaan dari pemimpin barat. Terakhir senator Jerman menganuhgerahkan penghargaan kepada kartunis itu.

Penulis akhirnya merasa bahwa kali ini dan kali lain sebelumnya kita lebih banyak terperas. Penulis lebih memilih tidak peduli ketimbang kelompok umat Islam lainnya yang tidak mau belajar dari peristiwa.

Kita salah ketika memutar balikkan prioritas dan mengerahkan energi umat dalam “perang sampingan” sementara kita melupakan “perang inti”. Seakan problem kita dengan Amerika bermula dari si bodoh itu.

Masalah kita dengan Amerika bukan karena peristiwa itu. Namun karena daftar panjang hitam dan kejahatannya terhadap kemanusiaan.

Masalah kita dengan Amerika bukan karena perbuatan kekanak-kanakan ini. Namun karena politik AS yang mendukung entitas Israel menjajah tanah kita, merampas kekayaan alamnya, menjaga rezim diktator di tengah-tengah kita.

Bukan kebetulan ketika Menlu Amerika Hillary Clinton pada saat berkomentar di depan publik soal pembakaran mushaf Al-Qur’an, kemudian menyatakan bahwa Sudan sudah terbelah dan warga Sudan selatan sudah dipastikan melakukan referendum untuk disintregasi. Ya, kita pergi jauh terpancing dengan perang pembakaran mushaf Al-Qur’an, sementara Hillary mulai bagi-bagi harta rampasan perangnya sebelum perang dimulai bahkan dan membicarakan kekayaan alam di Sudan Selatan dan ladang minyaknya.

Inilah sikap Amerika resmi yang berusaha memecah belah kita dan negeri kita. Namun tak seorang pun terpancing. Ia terlewatkan tanpa sikap penolakan. Padahal itu jauh lebih berbahaya di banding ulah personal bodoh yang membakar Al-Quran.

Pemerintah Amerika resmi jauh lebih licik dan cerdik dibanding sebagian warganya seperti si pendeta itu. Karenanya ia hanya mendapatkan kecaman termasuk dari Hillary. Selama konspirasi penghancuran umat tidak diragukan lagi oleh umat Islam, tidak bergitu penting sikap seremonial Amerika agar menghormati agama dan tempat suci. Itu hanya di mulut. Amerika mengumumkan resmi mengecam tindakan si pendeta agar umat Islam tetap anteng dalam tidurnya. Membungkam suara ekstrim seperti pendeta ini lebih banyak bermanfaat bagi proyek hegemoni Amerika ketimbang kepentingan umat.

Pengoyakan umat jauh lebih berbahaya 1000 kali dibanding pengoyakan kertas mushaf. Kemenangan kita dengan dan bersama Al-Quran bukan dengan kita reaksioner emosional, namun dengan menghidupkan makna-makna Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari, kita berpegang teguh dengannya, bersatu, berjihad melawan kezhaliman, dan berjalan di jalan yang lurus yang diserukan Al-Quran.

Jangan-jangan kita sendiri yang ‘mengoyak’ Al-Qur’an sebelum mereka mengoyaknya? Dengan cara kita tinggalkan nilai-nilai dan ajarannya, dengan cara kita sia-siakan energi besar peradaban kita. Kalau kita tegakkan kewajiban kita terhadap Al-Qur’an dengan sebenarnya, dunia tidak akan seperti ini dan sejarah pasti berubah….

Kapan kita sadar dan pintar mengatur prioritas kita dan kita lampaui reaksi emosional menuju upaya sistematis untuk membangkitkan realita kita? Kita arahkan kompas kita ke arah yang benar, tidak belok dari arah peperangan riil dan inti kepada peperangan sampingan sehingga kita tidak menjadi sosok-sosok yang reaksioner terhadap yang hal-hal sepele.

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya.” (Qaaf: 37)