Senin, 06 Agustus 2012

SHALATUL LAIL



Shalat Sunnah Lail ialah : Shalat-shalat Sunnah yang dikerjakan pada malam hari selain Ba'diyah 'Isya'.
Adapun waktunya ialah : Sehabis shalat 'Isya' hingga akhir waktu 'Isya' sebelum masuk waktu Shubuh. Dan shalat Lail itu boleh dikerjakan sebelum maupun sesudah tidur.
Macam-macamnya :
Termasuk Shalat Malam, ialah :
A. Shalat Sunnah Tarawih.                 C. Shalat Sunnah Witir.
B. Shalat Sunnah Tahajjud.                D. Shalat Sunnah Iftitah.
A. Shalat Tarawih
Tarawih artinya relax, santai, istirahat.
Ulama mengistilahkan Shalat Sunnah ini dengan Shalat Tarawih, karena melihat riwayat yang menjelaskan tentang bagaimana cara Nabi SAW melakukannya. Yaitu dengan perlahan-lahan/relax/santai serta diselingi dengan istirahat setiap habis salam, sebagaimana riwayat dibawah ini:
Dari 'Aisyah RA. katanya:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يُصَلّى اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِى اللَّيْلِ ثُمَّ يَتَرَوَّحُ فَاَطَالَ حَتَّى رَحِمْتُهُ. البيهقى
Adalah Rasulullah SAW shalat 4 rekaat dimalam hari. Kemudian beliau beristirahat/bertarawih lama sekali, sehingga aku merasa kasihan kepadanya. [HR. Baihaqi]
Waktu, Bilangan dan Cara Pelaksanaan
a. Waktunya.
Setiap malam pada bulan Ramadlan, boleh dikerjakan diawwal malam atau di pertengahan maupun di akhirnya, baik sebelum tidur maupun sesudah tidur. Tegasnya, shalat tarawih adalah shalat malam di bulan Ramadlan.
قَالَ اَبُوْ ذَرّ: صُمْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص . فَلَمْ يُصَلّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنَ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِى السَّادِسَةِ وَقَامَ بِنَا فِى اْلخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ. ابو داود
Telah berkata Abu Dzarr, kami telah berpuasa bersama Rasulullah SAW. Beliau tidak shalat (malam) bersama kami hingga tinggal tujuh hari dari bulan itu. Lalu beliau shalat bersama kami hingga lewat sepertiga malam, kemudian beliau tidak shalat malam bersama kami pada malam yang keenam. Tetapi beliau shalat malam bersama kami pada malam yang ke lima hingga lewat tengah malam. [HSR. Abu Dawud]
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَبْدِ اْلقَارِيّ اَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ ابْنِ اْلخَطَّابِ رض لَيْلَةً فِى رَمَضَانَ اِلىَ اْلمَسْجِدِ فَاِذَا النَّاسُ اَوْزَاعٌ مُتَفَرّقُوْنَ يُصَلّى الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلّى الرَّجُلُ فَيُصَلّى بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ: اِنىّ اَرَى لَوْ جَمَعْتُ هؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ اَمْثَلَ. ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى اُبَيّ بْنِ كَعْبٍ. ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً اُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَ اْلبِدْعَةُ هذِهِ وَالَّتِى يَنَامُوْنَ عَنْهَا اَفْضَلُ مِنَ الَّتِى يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ اخِرَ اللَّيْلِ. وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ اَوَّلَهُ. البخارى
Dari Abdurrahman bin Abdul Qariyyi, bahwasanya ia berkata, "Saya pernah keluar ke masjid bersama Umar bin Khaththab RA. pada suatu malam di bulan Ramadlan, Tiba-tiba kami dapati orang-orang berkelompok-kelompok dan terpisah-pisah, ada yang shalat sendirian dan ada yang shalat dengan diikuti beberapa orang. Maka Umar berkata, "Saya berpendapat lebih baik mereka ini saya kumpulkan dengan diimami oleh seorang imam". Kemudian Umar ber'azam dan mengumpulkan mereka itu dengan diimami oleh Ubay bin Ka'ab. Kemudian saya keluar lagi bersama Umar pada malam yang lain, sedang orang-orang shalat dengan bermakmum kepada imam mereka. Umar berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini". Dan shalat yang mereka kerjakan pada akhir malam adalah lebih utama dari pada yang mereka kerjakan di awwal malam. Sedangkan orang-orang biasa mengerjakan-nya di awwal malam. [HR. Bukhari juz 2 : 252].
b. Bilangan Raka'atnya
Shalat Sunnah Tarawih ini, bilangan raka'at yang biasa dikerjakan oleh Nabi SAW adalah sebelas raka'at beserta witirnya. Dan sebanyak-banyaknya tak terbatas, berapa saja seseorang mampu melaksanakan-nya hingga habis waktu shalat sunnah tersebut, yaitu masuk waktu Shubuh.
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يُصَلّى مَا بَيْنَ اَنْ يَفْرَغَ مِنْ صَلاَةِ اْلعِشَاءِ اِلىَ اْلفَجْرِ اِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلّمُ بَيْنَ كُلّ رَكْعَتَيْنِ وَ يُوْتِرُ بِوَاحِدَةٍ. الجماعة الا الترمذى
Dari 'Aisyah RA, ia berkata, "Rasulullah SAW shalat antara beliau selesai dari shalat 'Isyak hingga fajar, 11 rekaat. Beliau salam antara tiap-tiap 2 rekaat lalu berwitir 1 rekaat". [HR. Al-Jama'ah selain Tirmidzi].
قَالَتْ عَائِشَةُ. كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يُصَلّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْئَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْئَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَ طُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلّى ثَلاَثًا. البخارى و مسلم
Telah berkata 'Aisyah, "Adalah Rasulullah SAW pernah shalat 4 raka'at, jangan engkau tanya bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat 4 raka'at, jangan engkau tanya bagusnya dan panjangnya, kemudian beliau shalat (witir) 3 reka'at". [HSR. Bukhari dan Muslim]
Keterangan :
Maksud hadits tersebut, Nabi SAW shalat 2 raka'at salam, 2 raka'at salam lalu istirahat. Dilanjutkan lagi 2 raka'at salam, 2 raka'at salam lalu istirahat. Kemudian shalat witir 3 reka'at.
'Aisyah RA berkata :
اِنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص مَاكَانَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَانَ وَ لاَ غَيْرِهِ عَلَى اِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً. البخارى و مسلم
Bahwasanya Rasulullah SAW tidak melebihkan di bulan Ramadlan dan di luar bulan Ramadlan atas sebelas raka'at. [HR. Bukhari dan Muslim]
Keterangan :
Hadits ini bukan merupakan batas dari Nabi SAW, tetapi hanya menunjukkan bahwa biasanya Nabi SAW shalat sebelas raka'at.
عَنِ ابْنِ عُمَرَرض قَالَ: قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ صَلاَةُ اللَّيْلِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص. صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى. فَاِذَا خَافَ اَحَدُكُمُ الصُّبْحَ فَ؄ْيُوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى. الجماعة
Ibnu 'Umar RA. berkata : Seorang lelaki berdiri, lalu bertanya kepada Rasulullah SAW, "Ya Rasulullah, bagaimanakah shalat malam itu ?". Rasulullah SAW menjawab, "Shalat malam itu 2 raka'at 2 raka'at. Maka apabila seseorang diantara kamu khawatir masuk Shubuh hendaklah berwitir dengan 1 raka'at. Yang seraka'at itu mewitirkan untuk shalat yang telah dikerjakan". [Diriwayatkan Al-Jama'ah]
c. Cara Pelaksanaan
1. Boleh dengan Jahr (suara nyaring) maupun Sirr (suara lembut) :
سُئِلَتْ عَائِشَةُ: كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيّ ص بِاللَّيْلِ؟ فَقَالَتْ: كُلُّ ذلِكَ قَدْ كَانَ يَفْعَلُ رُبَمَا اَسَرَّ وَ رُبَمَا جَهَرَ. احمد و ابو داود و الترمذى
Telah ditanya 'Aisyah RA, "Bagaimana bacaan Nabi SAW pada waktu (shalat) malam ?". Jawabnya, "Semuanya itu dikerjakan oleh Rasulullah SAW terkadang beliau membaca sirr (perlahan) dan terkadang beliau membaca jahr (nyaring)".  [HSR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi]
2. Boleh dikerjakan dengan berjama'ah maupun munfarid (sendirian)
قَالَتْ عَائِشَةُ: اِنَّ النَّبِيَّ ص صَلَّى فِى اْلمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ. ثُمَّ صَلَّى الثَّانِيَةَ فَكَثُرَ النَّاسُ. ثُمَّ اجْتَمَعُوْا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ اَوِ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ اِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ ص فَلَمَّا اَصْبَحَ قَالَ:رَأَيْتُ الَّذِى صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِى مِنَ اْلخُرُوْجِ اِلَيْكُمْ اِلاَّ اَ نّى خَشِيْتُ اَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ ... وَ ذ?لِكَ فِى رَمَضَانَ. البخارى و مسلم
Telah berkata 'Aisyah, bahwasanya Nabi SAW pernah shalat malam dimasjid maka orang-orangpun turut shalat bersama beliau, dan beliau shalat pula pada malam yang kedua, maka bertambah banyak orang mengikutinya. Kemudian malam ketiganya atau ke empatnya mereka telah berkumpul, tetapi beliau tidak datang. Keesokan harinya beliau berkata, "Saya mengetahui apa yang kalian kerjakan semalam, saya tidak berhalangan untuk datang kepadamu, hanya saya t`kut jangan-jangan shalat itu kau anggap wajib". Kata 'Aisyah, "Kejadian tersebut pada bulan Ramadlan". [HSR. Bukhari dan Muslim]
B. Shalat Sunnah Tahajjud
Shalat Sunnah Tahajjud adalah : Shalat malam yang dikerjakan di luar Ramadlan.
Nama Tahajjud diambil dari firman Allah ayat 79 surat Al Isra' :
وَ مِنَ الَؑيْلِ فَتَهَجَّدْ بِه نَا فِلَةً لَّكَ. الاسراء:79
Dan pada sebagian malam bershalat Tahajjudlah kamu sebagai suatu tambahan bagimu. [QS. Al-Isra' : 79]
Perlu diketahui bahwa pada hakekatnya shalat sunnah tarawih dan shalat sunnah tahajjud adalah sama-sama termasuk shalat lail/malam. Maka untuk mempermudah pembahasannya, oleh para ulama diberi istilah yang berlainan, yaitu shalat sunnah tahajjud dan shalat sunnah tarawih. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut :
Shalat Sunnah Tahajjud
Shalat Sunnah Tarawih
1. Istilah  untuk   shalat  lail  yang
    dikerjakan   pada   malam  hari
    di luar bulan Ramadlan.

2. Nabi   tidak  pernah  mengerja-
    kan dengan berjama'ah.

3. Dikerjakan  sesudah  lewat  te-
    ngah malam.
1. Istilah untuk shalat lail yang  di
    kerjakan pada bulan Ramadlan
    dan dikerjakan dengan santai/
    relax.
2. Boleh dikerjakan dengan berja-
    ma'ah maupun  munfarid  (sen-
    dirian).
3. Boleh dikerjakan di awwal, per-
    tengahan atau akhir malam.
Jadi selain perbedaan di atas, secara keseluruhan antara kedua shalat itu adalah sama.
$3Cdiv class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin-bottom: 6pt; text-align: justify;">
C. Shalat Sunnah Witir
Shalat sunnah witir ialah shalat sunnah lail yang dikerjakan dengan bilangan rakaat yang ganjil (witir = ganjil).
عَنْ عَلِيّ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص اَوْتِرُوْا يَا اَهْلَ اْلقُرْانِ فَاِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ اْلوِتْرَ. الخمسة وصححه ابن خزيمة
Dari 'Ali RA, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW, "Berwitirlah kamu hai ahli Qur'an karena sesungguhnya Allah itu witir/tunggal, Ia suka kepada (shalat) witir". [Diriwayatkan oleh Khamsah dan disahkan oleh Ibnu Khuzaimah]
Waktunya :
Pada setiap malam, baik di dalam maupun diluar Ramadlan, boleh dikerjakan di awwal, pertengahan, ataupun diakhir malam, baik sebelum maupun sesudah tidur, kesemuanya itu pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW :
عَنْ عَائِشَةَ رض قَالَتْ: مِنْ كُلّ اللَّيْلِ قَدْ اَوْتَرَ رَسُوْلُ اللهِ ص مِنْ اَوَّلِ اللَّيْلِ وَ اَوْسَطِهِ وَ اخِرِهِ فَانْتَهَى وِتْرُهُ اِلىَ السَّحَرِ. الجماعة
'Aisyah RA berkata, "Dalam seluruh (bagian) malam Rasulullah SAW pernah mengerjakan witir, di permulaan malam, dipertengahannya, dan di akhirnya, hingga witirnya selesai pada waktu sahur". [HR. Al Jama'ah]
عَنْ جَابِرٍ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: مَنْ خَافَ اَنْ لاَ يَقُوْمَ مِنْ اخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ اَوَّلَهُ وَ مَنْ طَمِعَ اَنْ يَقُوْمَ اخِرَهُ فَلْيُوْتِرْ اخِرَ ا؄لَّيْلِ. فَاِنَّ صَلاَةَ اخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُوْدَةٌ وَ ذ?لِكَ اَفْضَلُ. مسلم
Dari Jabir RA, ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa khawatir tidak akan bangun pada akhir malam, maka bolehlah berwitir pada awwal malam. Dan barangsiapa berkeyakinan mampu bangun di akhir malam, maka hendaklah mengerjakan witir pada saat itu, karena shalat di akhir malam itu disaksikan dan yang demikian itu lebih utama". [HR. Muslim].
Catatan : Bila dilaksanakan dibulan Ramadlan, maka boleh dengan berjama'ah (sebagai bagian/penutup dari shalat tarawih), dan boleh pula dengan cara munfarid (sendirian). Sedang bila dikerjakan di luar Ramadlan menurut tuntunan adalah dikerjakan secara sendiri dan bukan dengan berjama'ah.
Bilangan Raka'at serta Cara Pelaksanaannya
a. Satu rakaat, berdasar sabda Nabi SAW :
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى. فَاِذَا خَافَ اَحَدُكُمُ الصُّبْحَ فَلْيُوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى. البخارى و مسلم
"Shalat malam itu dua (rakaat) dua (rakaat), maka apabila seseorang di antara kalian takut (masuk waktu) Shubuh hendaklah ia witir 1 rakaat. Yang serakaat itu mewitirkan shalat yang telah ia kerjakan". [HSR. Bukhari dan Muslim]
b. Tiga Rakaat, Bila melaksanakan 3 rakaat, maka harus dengan satu tasyahud di rakaat yang akhir, lalu salam, sebagaimana riwayat di bawah ini:
قَالَتْ عَائِشَةُ رض :كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يُوْتِرُ بِثَلاَثٍ وَ لاَ يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ. احمد و النسائى
'Aisyah RA berkata, "Rasulullah SAW pernah berwitir dengan 3 raka'at, tidak mengadakan pemisahan antaranya (mengerjakannya dengan sekali salam)". [HR. Ahmad dan An-Nasai].
Dan tidak diperkenankan shalat witir yang 3 itu dengan 2 raka'at salam, kemudian disambung dengan 1 rakaat lalu salam. Hal ini menyalahi keterangan dalam riwayat 'Aisyah di atas tentang pelaksanaan shalat itu oleh Nabi SAW dan juga menyalahi arti witir itu sendiri, karena witir itu artinya ganjil, sedang 2 itu genap, jadi tidak dapat dikatakan witir. Dan juga kita tidak diperkenankan shalat 3 raka'at tersebut dengan 2 tasyahud 1 salam. Sebab ini menyerupai Maghrib, yang demikian ini dilarang oleh Nabi SAW sebagaimana hadits di bawah ini. Sabda Nabi SAW :
لاَ تُوْتِرُوْا بِثَلاَثٍ. اَوْتِرُوْا بِخَمْسٍ اَوْ بِسَبْعٍ وَ لاَ تُشَبّهُوْا بِصَلاَةِ اْل�$85َغْرِبِ. الدارقطنى
Jangan kamu shalat witir 3 rekaat, (tetapi) shalatlah witir 5 atau 7, dan janganlah kamu menyerupai dengan shalat Maghrib". [HSR. Daruquthni].
Keterangan :
Dalam hadits ini, Rasulullah SAW melarang kita shalat witir 3 rekaat d`n memerintahkan untuk shalat dengan 5 rekaat atau 7 rekaat. Sedang hadits-hadits lain menerangkan bahwa Rasulullah SAW sendiri mengerjakan shalat witir 3 rekaat. Maka dari kedua macam hadits tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa : "Yang dilarang mengerjakan shalat witir 3 rekaat itu adalah shalat witir yang menyerupai shalat Maghrib, sedang shalat witir 3 rekaat yang tidak serupa dengan shalat Maghrib tidak dilarang, bahkan dikerjakan oleh Rasulullah SAW sendiri".
Adapun bentuk keserupaan itu ialah : Dengan 2 tasyahud satu salam. Maka supaya tidak menyerupai shalat Maghrib hendaklah shalat witir 3 rekaat tersebut dikerjakan dengan 3 rekaat sekaligus dengan satu tasyahud di akhir rakaat dan satu salam.
c. 5 rekaat dengan satu tasyahud di rakaat yang terakhir kemudian salam. Berdasar riwayat sebagai berikut :
قَالَتْ عَائِشَةُ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص يُصَلّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوْتِرُ مِنْ ذلِكَ بِخَمْسٍ وَ لاَ يَجْلِسُ فِى شَيْءٍ مِنْهُنَّ اِلاَّ فِى اخِرِهِنَّ. البخارى و مسلم
‘Aisyah RA berkata, "Rasulullah SAW shalat di malam hari 13 rekaat, dari 13 rekaat itu beliau shalat witir 5 rekaat. Beliau tidak duduk (attahiyat) pada sesuatu rekaat dari yang 5 ini, melainkan pada akhirnya". [HR. Bukhari dan Muslim].
d.  7 rekaat dengan 2 tasyahud di rekaat 6 dan 7 lalu salam.
Berdasar riwayat sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَةَ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص لَمَّا كَبُرَ وَضَعُفَ اَوْتَرَ بِسَبْعِ رَكَعَاتٍ لاَ يَقْعُدُ اِلاَّ فِى السَّادِسَةِ ثُمَّ يَنْهَضُ وَ لاَ يُسَلّمُ فَيُصَلّى السَّابِعَةَ ثُمَّ يُسَلّمُ تَسْلِيْمَةً. ابن هزم
Dari Aisyah RA, bahwasanya Rasulullah SAW setelah lanjut usia dan lemah badannya, beliau berwitir dengan 7 rekaat dan tidak duduk kecuali pada rekaat yang ke 6, kemudian berdiri tanpa salam lalu menyelesaikan rekaat yang ke 7 kemudian salam dengan satu kali salam. [HR. Ibnu Hazm].
e. 9 rekaat dengan 2 tasyahud di rekaat yang ke 8 dan ke 9 setelah itu salam.
Berdasar riwayat sebagai berikut :
قَالَ سَعِيْدُ بْنُ هِشَامٍ لِعَائِشَةَ. اَنْبِئِيْنِى عَنْ وِتْرِ رَسُوْلِ اللهِ ص فَقَالَتْ: كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَ طَهُوْرَهُ فَيَبْعَثُهُ اللهُ مَتَى شَاءَ لَنْ اَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَ يَتَوَضَّأُ وَ يُصَلّى تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيْهَا اِلاَّ فِى الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَ لاَ يُسَلّمُ ثُمَّ يَقُوْمُ فَيُصَلّى التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللهَ وَ يَحْمَدُهُ وَ يَدْعُوْهُ ثُمَّ يُسَلّمُ تَسْلِيْمًا. يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلّى رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ مَا يُسَلّمُ وَ هُوَ قَاعِدٌ فَتِلْكَ اِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا بُنَيَّ. احمد و مسلم
Sa’id bin Hisyam telah bertanya kepada 'Aisyah RA, "(Ya ‘Aisyah), beritahukanlah kepadaku tentang shalat witir Rasulullah SAW". Jawab 'Aisyah, "Kami biasa menyediakan penggosok gigi dan air wudlu bagi Rasulullah SAW, lalu beliau bangun malam pada waktu yang dikehendaki Allah, bukan sebab saya bangunkan. Kemudian beliau menggosok gigi dan berwudlu lalu shalat (witir) sembilan rekaat dan beliau tidak duduk (attahiyat) melainkan pada rekaat yang ke delapan, lalu beliau menyebut, memuji dan berdoa kepada Allah. Kemudian beliau bangun dengan tidak mengucap salam dan berdiri shalat (rekaat) yang ke sembilan, kemudian beliau duduk (attahiyat) menyebut, memuji dan berdoa kepada Allah, kemudian beliau mengucap salam sehingga terdengar oleh kami. Setelah itu beliau shalat 2 rekaat dengan duduk. Yang demikian itu jadi 11 rekaat hai anakku". [HSR. Ahmad dan Muslim].
Dan kita dilarang mengerjakan 2 kali shalat witir pada satu malam
عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيّ رض قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ص يَقُوْلُ: لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ. احمد و النسائى و الترمذى و صححه ابن حبان
Dari Thalq bin Ali, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada dua witir pada satu malam". [HR. Ahmad, Nasai, Tirmidzi dan dishahkan oleh Ibnu Hibban].
f. Bacaan sesudah shalat witir.
Menurut riwayat Nasai, Rasulullah SAW setelah shalat witir, beliau membaca Subhaanal Malikil Qudduus 3 kali.
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ: سَمِعْتُ عَزْرَةَ يُحَدّثُ عَنْ سَعِيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ اَبْزَى عَنْ اَبِيْهِ، اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص كَانَ يُوْتِرُ بِسَبّحِ اسْمَ رَبّكَ اْلاَعْلى?، وَ قُلْ ياَيُّهَا اْلكَافِرُوْنَ، وَ قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ. فَاِذَا فَرَغَ قَالَ: سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوْسِ ثَلاَثًا. النسائى
Dari Qatadah, ia berkata : Saya pernah mendengar ‘Azrah menyampaikan hadits dari Sa’id bin ‘Abdur Rahman bin Abza dari ayahnya, ia berkata, “Biasanya Rasulullah SAW dalam shalat witir membaca surat Al-A’laa, Al-Kaafiruun dan Al-Ikhlash. Setelah selesai beliau mengucapkan Subhaanal Malikil Qudduus (sebanyak) 3 kali”. [HR. Nasai]
عَنْ قَتَادَةَ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ اَبْزَى عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص، كَانَ يُوْتِرُ بِسَبّحِ اسْمَ رَبّكَ اْلاَعْلى، وَ قُلْ ياَيُّهَا اْلكَافِرُوْنَ، وَ قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ. فَاِذَا فَرَغَ قَالَ: سُبْحَانَ اْلمَلِكِ اْلقُدُّوْسِ، ثَلاَثًا وَ يَمُدُّ فِى الثَّالِثَةِ. النسائى
Dari Qatadah dari Zurarah dari ‘Abdur Rahman bin Abza dari Rasulullah SAW, biasanya beliau SAW di dalam shalat witir membaca surat Al-A’laa, Al-Kaafirun dan Al-Ikhlash. Setelah selesai lalu beliau mengucapkan, “Subhaanal Malikil Qudduus 3 kali, dan beliau memanjangkan pada bacaan yang ketiga”. [HR. Nasai]
Dan menurut riwayat Thabrani, setelah bacaan tersebut ada tambahan “Rabbul malaaikati war ruuh”.
D. Shalat Iftitah.
Shalat Iftitah adalah shalat sunnah dua rekaat yang ringan untuk mengawali shalat lail.
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا قَامَ اَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيَفْتَحْ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ. احمد و مسلم
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seseorang diantara kamu bangun pada malam hari, maka hendaklah ia membuka shalatnya dengan dua rekaat yang ringan. [HR. Ahmad dan Muslim].
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ اِفْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيْفَتَيْنِ. احمد و مسلم
Dari 'Aisyah RA, ia berkata, "Adalah Rasulullah SAW apabila bangun di malam hari beliau membuka shalat malamnya dengan dua rekaat yang ringan". [HR. Ahmad dan Muslim].

Sabtu, 04 Agustus 2012

ZAKAT FITHRAH



Pengertian Zakat Fithrah
Zakat Fithrah ialah : Zakat berupa makanan pokok dalam suatu daerah, yang dikeluarkan sebelum shalat 'Idul Fithri.
Yang Wajib Mengeluarkan
Zakat Fithrah diwajibkan kepada orang Islam, baik tua maupun muda, laki-laki atau perempuan, merdeka, budak bahkan kanak-kanak sekalipun, yang mempunyai kelebihan makanan pada malam hari raya serta siang harinya.
Ukuran/Kadarnya
Tiap-tiap jiwa sebanyak satu Sha' (+ 2,5 kg atau 3 liter), dari makanan pokok yang biasa dimakan oleh orang di dalam daerah tersebut.
Waktu Pengeluaran<$2Fi>
Dari terbenam matahari pada akhir Ramadlan/malam hari raya 'Idul Fithri sampai sebelum mulai shalat 'Id.
قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ ص زَكَاةَ اْلفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَ اْلحُرّ وَ الذَّكَرِ وَ اْلاُنْثَى وَ الصَّغِيْرِ وَ اْلكَبِيْرِ مِنَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ اَمَرَ بِهَا اَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ اِلىَ الصَّلاَةِ. البخارى
Ibnu Umar telah berkata, “Rasulullah SAW sudah mewajibkan zakat Fithrah satu Sha' (+ 2,5 kg atau 3 liter) dari korma atau satu sha' dari  gandum atas budak maupun orang merdeka, laki-laki, perempuan, kecil dan dewasa dari orang-orang Islam, dan beliau menyuruh supaya dikeluarkan zakat fithrah itu sebelum orang-orang keluar pergi shalat ('Idul Fithri)". [HR. Bukhari].
Boleh pula dikeluarkan 1 atau 2 hari sebelum hari raya :
وَ كَانُوْا يُعْطُوْنَهَا قَبْلَ اْلفَجْرِ بِيَوْمٍ اَوْ يَوْمَيْنِ. البغوى
.... dan mereka (para shahabat) memberikannya (zakat fithrah) satu atau dua hari sebelum Fajar ('Idul Fithri). [HR. Al-Baghawi].
Dengan dasar atsar (perbuatan) shahabat tersebut, ada sebagian 'ulama (antara lain Imam Syafi'i) yang berpendapat bahwa boleh pula mengeluarkan zakat fithrah sejak awwal Ramadlan; karena hadits Nabi diatas hanya menerangkan bahwa waktu pengeluaran zakat fithrah adalah sebelum mulai shalat 'Id, tanpa penjelasan kapan permulaannya. Sedang para shahabat ada yang mengeluarkan 1 bahkan 2 hari sebelum Hari Raya. Maka berdasar inilah sebagian ulama berpendapat bahwa mengeluarkan zakat fithrah itu sejak awwal Ramadlan sudah boleh dan sah.
Sasaran Zakat Fithrah
Sasaran atau orang yang berhak menerima zakat fithrah adalah tidak berbeda dengan yang berhaq menerima zakat yang lain, yaitu sebagaimana yang tertera pada surat At-Taubah ayat 60 :
اِنَّمَا الصَّدَقتُ لِلْفُقَرَاءِ وَ اْلمَسكِيْنِ وَ اْلعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَ اْلمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَ فِى الرّقَابِ وَ اْلغَارِمِيْنَ وَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ ابْنِ السَّبِيْلِ، فَرِيْضَةً مّنَ اللهِ، وَ اللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ. التوبة:60
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [QS. At-Taubah : 60].
Keterangan :
Yang berhaq menerima zakat fithrah ialah :
1. اَلْفُقَرَاء  (Orang-orang fakir)
Orang-orang yang di dalam penghidupannya untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, baik bagi dirinya sendiri dan atau orang yang menjadi tanggungannya, hanya mampu mencukupi kurang dari separoh keperluannya. Misalnya : Kebutuhan setiap harinya Rp. 10.000,- ia hanya mampu menyediakan Rp. 4.000,-
2.  اَلْمَس?كِيْن  (orang-orang miskin)
Yaitu sebagaimana nomor 1, tetapi lebih dari separoh, namun kurang dari kebutuhannya. Misalnya : Kebutuhan setiap harinya Rp. 10.000,- ia hanya mampu menyediakan Rp. 6.000,- Demikian menurut pendapat sebagian 'ulama.
3.  اَلْعَامِلِيْن  (orang-orang yang mengurusi zakat)
Yaitu beberapa orang yang ahli tentang seluk-beluk zakat (hukum-hukumnya, barang-barang dan kadar masing-masing yang dizakati dan sebagainya) yang diangkat oleh Nabi SAW/Pimpinan ummat Islam dan bertugas sebagai penghitung dan penerima serta penagih zakat dari kaum Muslimin untuk disalurkan sebagaimana mestinya. Walaupun ia bukan fakir/ miskin, namun berhaq menerima zakat.
Catatan :
Tentang "Panitia Zakat Fithrah". Karena yang berhaq mengangkat dan menugaskan 'Amil adalah Nabi SAW/Pimpinan ummat Islam, maka kami berpendapat dan menyarankan, sebaiknya kita tidak mdndudukkan diri sebagai 'amil, tetapi menjadi sukarelawan saja untuk membantu pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan zakat fithrah tersebut. Jika ada diantara anggota panitia itu orang yang fakir/miskin, maka berhaqlah mereka menerima zakat sebagai fakir/miskin, bukan sebagai 'amil.
4.اَلْمُؤَلَّفَة قُلُوْبُهُمْ     (orang-orang yang dijinakkan hatinya).
Yaitu :
a.  Orang yang baru masuk Islam, agar makin mantap keislamannya.
b.  Orang yang diharapkan masuk Islam dan telah tampak tanda-tanda simpati dan perhatiannya terhadap Islam, ia berhaq menerima zakat tersebut agar makin memperlancar keislaman orang itu.
c.  Orang-orang yang sangat memusuhi Islam dan berpengaruh dalam masyarakat. Minimal diharapkan dengan pemberian zakat kepadanya itu, dapat memperlunak sikapnya atau menghentikan sama sekali permusuhannya terhadap Islam.
Ketiga golongan diatas termasuk ( اَلْمُؤَلَّفَة ) yang berhaq menerima zakat, sekalipun mereka tergolong mampu dan bukan fakir/miskin.
5. اَلرّقَاب budak-budak).
Mereka berhaq mendapat bagian zakat untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman perbudakan.
6.  اَلْغَارِمِيْن  (orang-orang yang berhutang)
Yaitu orang-orang Islam yang kesulitan dan kepayahan karena terbelit oleh hutang-hutangnya yang bukan disebabkan karena pemborosan/ma'shiyat (judi dan sebagainxa). Golongan ini berhaq mendapat penyaluran zakat untuk melunasi hutangnya.
7.   سَبِيْل اللهِ(jalan Allah)
Yaitu setiap sarana dan tempat serta orang-orang yang berhubungan dengan hal-hal yang berguna bagi agama maupun masyarakat luas. Misalnya : Masjid-masjid, sekolahan-sekolahan, madrasah-madrasah, lembaga-lembaga da'wah, tempat pengajian dan sebagainya, termasuk orang-orang yang menyelenggarakan serta mengurusinya. Dan juga termasuk sabiilillaah ialah hal-hal yang bermanfaat bagi kepentingan umum dan dibenarkan oleh agama, seperti mendirikan rumah sakit, gedung pertemuan, membangun jembatan dan sebagainya.
8.  اِبْن السَّبِيْلِ  (orang yang dalam perjalanan/musafir),
Yaitu orang yang dalam perjalanan, lalu putus bekal dan dikhawatirkan terlantar dalam perantauannya itu, maka yang demikian inipun berhaq menerima zakat untuk bekal pulang ke negeri/daerah asalnya. Hal ini dapat dimengerti dan diambil hikmah yang besar yang terkandung di dalamnya, yaitu antara lain :
Agar dimana saja orang Islam itu berada, ia selalu merasa mempunyai saudara seiman yang selalu siap menolongnya, hingga ia tidak merasa asing di perantauannya tersebut.
Beberapa Masalah Yang Berkaitan Dengan Zakat Fithrah
1.  Yang dikeluarkan harus sesuai dengan kwalitas yang biasa dimakannya sehari-hari. Misalnya bila sehari-hari ia makan makanan pokok tersebut dari kwalitas nomor 1, maka tidak selayaknya ia mengeluarkan kwalitas nomor 2 atau nomor 3. Jika sampai terjadi demikian berarti menyalahi jiwa perintah zakat yang antara lain bertujuan untuk mensucikan jiwa seseorang dari kekikiran hati serta menundukkan hawa nafsunya terhadap perintah Allah. Firman Allah :
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهّرُهُمْ وَ تُزَكّيْهِمْ بِهَا. التوبة.103
     Ambillah shadaqah dari sebagian harta mereka, dengan shadaqah itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka. [At-Taubah : 103].
     Sebaliknya apabila ia mengeluarkan yang lebih baik dari pada apa yang biasa dimakan, yang demikian itu lebih baik baginya. Karena kelebihan dan kebaikannya itu akan kembali kepada pelakunya itu sendiri, sesuai dengan jiwa agama dan jiwa perintah zakat fithrah tersebut.
     Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 184 :
... فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌلَّه. البقرة:184
     ..... maka barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. [Al-Baqarah : 184].
2.  Zakat Fithrah tersebut dapat pula berujud uang, senilai dengan zakat fithrah yang diwajibkan baginya. Misalnya : 1 liter = Rp. 2.500,- maka ia mengeluarkan untuk dirinya sendiri sejumlah 3 X Rp. 2.500,- =  Rp. 7.500,-

3.  Anak-anak dan orang-orang yang menjadi tanggungan seseorang, maka kewajiban zakat fithrah mereka dibebankan kepada orang yang menanggungnya (ayah/majikan dan sebagainya). Jadi merekalah yang berkewajiban mengeluarkan untuk anak-anak atau orang yang menjadi tanggungannya tersebut, bila mereka itu orang Islam.

4.  Ada sementara 'ulama yang berpendapat bahwa zakat fithrah itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang miskin saja, bukan untuk yang lain, berdasar pemahaman terhadap hadits :
قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ ص زَكَاةَ اْلفِطْرِ. وَ قَالَ: اَغْنُوْهُمْ عَنْ طَوَافِ هذَا اْليَوْمِ. البيهقى
Telah berkata Ibnu Umar : Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fithrah dan bersabda, "Berilah kecukupan kepada mereka (orang-orang miskin) supaya mereka tidak minta-minta pada hari ini”. [HR. Al-Baihaqi].
Dan juga :
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ ص زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ. فَمَنْ اَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ. وَ مَنْ اَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ. ابو داود و ابن ماجه و الدارقطنى و الحاكم
Telah berkata Ibnu 'Abbas, "Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fithrah untuk pembersih bagi orang yang puasa dari omongan sia-sia dan kotor (yang telah dikerjakannya), dan untuk memberi makan orang-orang miskin. Barangsiapa mengeluarkannya sebelum shalat hari raya, maka ia jadi zakat yang maqbul, dan barangsiapa mengeluarkannya sesudah shalat, maka ia jadi sedeqah diantara beberapa sedeqah". [HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Daruquthni dan Hakim].
Penjelasan :
a.  Zakat Fithrah adalah termasuk bagian dari "Zakat", maka orang-orang yang berhaq menerima zakat adalah 8 golongan, sebagaimana diterangkan pada ayat 60 surat At-Taubah diatas.
b.  Surat At-Taubah ayat 60 itu didahului dengan huruf Hashr (pembatas) اِنَّمَا  (hanyasanya), maksudnya "bila tidak demikian maka tidak".
     Dan sifat ayat tersebut umum yang berarti setiap shadaqah/zakat apa saja baik zakat maal (harta benda), zakat tanaman dan lain-lain, termasuk zakat fithrah ini, salurannya adalah 8 ashnaf (orang-orang yang berhaq menerima zakat) itu, sedang hadits-hadits diatas bukan merupakan Takhshish (pengecualian) dari ayat tersebut.
c.  Jadi jelaslah bahwa hadits-hadits itu bukan bermakna "Zakat Fithrah" itu wajib hanya diberikan untuk fakir/miskin agar mereka terbebas dari kelaparan (hadits nomor 1), dan "Zakat Fithrah itu sebagai pensuci bagi orang-orang yang berpuasa dan hanya diperuntukkan orang-orang miskin" (hadits nomor 2), melainkan : "Zakat Fithrah itu ~bila memang keenam golongan yang lain kurang membutuhkan~ sebaiknya disalurkan kepada para fakir/miskin agar mereka terbebas dari cengkeraman kelaparan pada hari raya itu". (hadits nomor1) dan : "Zakat Fithrah itu dapat mensucikan orang-orang yang berpuasa dari kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan kecil yang mungkin dilakukannya ketika sedang berpuasa, dan boleh diperuntukkan bagi orang-orang yang miskin, disamping bagi yang lain dari 8 golongan tersebut diatas".
d.  Bila dengan dasar hadits tersebut orang menetapkan bahwa zakat fithrah itu hanya untuk orang miskin dengan alasan bahwa dalam kedua hadits itu yang disebutkan hanyalah orang miskin, lalu bagaimana dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dibawah ini :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص بَعَثَ مُعَاذًا اِلىَ اْليَمَنِ فَذَكَرَ اْلحَدِيْثَ وَ فِيْهِ. اِنَّ اللهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى اَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ اَغْنِيَاءِهِمْ فَتُرَدُّ اِلىَ فُقَرَاءِهِمْ. متفق عليه و اللفظ للبخارى
     Dari Ibnu 'Abbas, bahwasanya Nabi SAW mengutus Mu'adz ke Yaman, lalu ia sebut hadits itu, yang didalamnya ada, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan atas mereka zakat pada harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka, lalu diberikan kepada orang-orang fakir mereka". [Muttafaq 'alaih, dan lafadh itu bagi Bukhari].
Hadits diatas maksudnya, bukanlah "Zakat itu diambil dari orang-orang kaya/mampu dan diperuntukkan hanya bagi orang-orang fakir saja". Walaupun bunyi di dalam hadits itu begitu, karena (jika demikian) ini bertentangan dengan ayat 60 surat At-Taubah dimuka. Maka jelaslah makna hadits ini, yaitu menekankan bahwa yang wajib mengeluarkan zakat adalah orang yang mampu, bukan orang yang fakir/miskin.
5.  Di muka dijelaskan bahwa batas akhir pengeluarannya adalah sebelum orang melaksanakan shalat 'Ied. Jika ia mengeluarkannya setelah shalat, berdosalah ia, karena berarti tidak melaksanakan kewajiban. Dan yang dikeluarkannya itu hanya dinilai sebagai suatu sedeqah sebagaimana sedeqah-sedeqah yang lain.
     Tegasnya, dia dianggap berdosa, karena tidak membayar zakat fithrah, sedang yang dikeluarkannya itu dinilai sebagai sedeqah sunnah.
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ ص زَكَاةَ اْلفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَ الرَّفَثِ وَ طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ. فَمَنْ اَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ. وَ مَنْ اَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ. ابو داود و ابن ماجه و الدارقطنى و الحاكم
     Telah berkata Ibnu 'Abbas, Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fithrah untuk pembersih bagi orang yang puasa dari omongan sia-sia dan kotor (yang telah dikerjakannya), dan untuk memberi makan orang-orang miskin. Barangsiapa mengeluarkannya sebelum shalat (hari raya), maka ia jadi zakat yang maqbul, dan barangsiapa mengeluarkannya sesudah shalat, maka ia jadi satu sedeqah diantara beberapa sedeqah". [HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Daruquthni dan Hakim].
6.  Dalam masalah zakat fithrah ini diperbolehkan membentuk Panitia Zakat Fithrah (bukan 'amil) yang bekerja secara sukarela sebagai pengabdian terhadap masyarakat dan negara sebagaimana riwayat di bawah ini :
قَالَ نَافِعٌ: اِنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَكَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ اْلفِطْرِ اِلىَ الَّذِى تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ اْلفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ اَوْ ثَلاَثَةٍ. مالك
     Telah berkata Nafi', "Bahwa Abdullah bin Umar biasa mengirimkan zakat fithrah kepada orang yang mengumpulkan zakat sebelum hari raya 'Idul Fithri dua atau tiga hari". [HR. Malik].
     Dalam masalah mengeluarkan zakat fithrah dari tangan yang berkewajiban, agama memberikan ketentuan batas akhir sebagaimana diterangkan diatas. Sedang mengenai zakat fithrah itu harus sampai kepada tangan yang berhaq menerima, agama tidak memberikan ketentuan yang pasti, ini diserahkan pada kita semua. Yang penting zakat fithrah itu harus ditunaikan oleh orang yang mengeluarkan sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Dan jika tidak ada hal yang memaksa untuk menunda sampainya kepada yang berhaq menerima dengan alasan yang dibenarkan oleh syara'/hukum agama, maka harus segera disampaikan sebagaimana mestinya. Namun bila ada kendala sehingga sampainya kepada yang berhaq menerima sesudah shalat hari raya, yang demikian ini pun tidak mengapa.
     Adapun kendala tersebut antara lain :
~ Karena kesulitan-kesulitan pengangkutan, lantaran banyaknya yang harus dibagikan dan yang diberi bagian.
~ Karena jauhnya perjalanan yang harus ditempuh (di lain daerah) sehingga sampainya sesudah hari raya, karena zakat itu tidak mesti harus dibagikan dalam daerahnya sendiri, karena ada daerah lain yang lebih memerlukannya.
~   Dan lain-lain sebab yang dibenarkan oleh syara'.
7.  Kadar/Ukuran Zakat Fithrah yang Normal.
     Kadar yang nnrmal adalah satu Sha' (kurang lebih 2 1/2 kg atau 3 liter) atau jika dinilai dengan uang, maka yang senilai dengan itu, bagi tiap-tiap jiwa, baik dirinya sendiri maupun orang-orang Islam yang menjadi tanggungannya sebagaimana telah diterangkan di muka.
     Maka jika sisa dari keperluan sehari semalam itu kurang dari satu sha', tetapi lebih dari keperluan dirinya dan orang yang menjadi tanggungannya, bolehlah ia mengeluarkan sekedar sisa yang dipunyai itu, walaupun kurang dari satu sha'. Hal ini tetap dipandang sah serta telah menunaikan kewajiban agama, berdasarkan kepada Sabda Nabi SAW :
اِذَا اَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. البخارى و مسلم
     Apabila aku memerintahkan kamu untuk mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia semaksimalmu. [HR. Bukhari dan Muslim].
8.  Boleh pula mengeluarkan zakat fithrah bagi bayi yang menjadi tanggungannya yang masih di dalam kandungan ibunya, beralasan dengan riwayat sebagai berikut :
     Berkata Abu Qilabah :
كَانَ يُعْجِبُهُمْ اَنْ يُعْطُوْا زَكَاةَ اْلفِطْرِ عَنِ الصَّغِيْرِ وَ اْلكَبِيْرِ حَتَّى عَنِ اْلحَمْلِ فِى بَطْنِ اُمّهِ. عبد الرزاق
Adalah shahabat-shahabat Nabi SAW suka mengeluarkan zakat fithrah untuk anak-anak kecil dan dewasa, hingga untuk anak yang masih dalam kandungan ibunya. [HR. Abdurrazaq].
Arti Fakir, Miskin Menurut Hadits
مَنْ سَأَلَ وَ عِنْدَهُ مَا يُغْنِيْهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ جَمْرِ جَهَنَّمَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَ مَا يُغْنِيْهِ ؟ قَالَ: قَدْرَ مَا $D9�ُغَدّيْهِ وَ يُعَشّيْهِ. ابو داود
Barangsiapa meminta-minta padahal ia mempunyai (makanan) yang mencukupi baginya, maka hanyalah ia memperbanyak bara api jahannam. Mereka bertanya, "Ya Rasulullah, apa yang mencukupi baginya itu ?". Beliau bersabda, "Yaitu yang cukup untuk dimakan pada siangnya dan malamnya". [HR. Abu Dawud].
Ucapan Orang Yang Menerima Zakat
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ اَبِى اَوْفَى قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِذَا اَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَةٍ قَالَ: اَللّهُمَّ صَلّ عَلَيْهِمْ. فَاَتَاهُ اَبِى اَبُوْ اَوْفَى بِصَدَقَتِهِ. فَقَالَ: اَللّهُمَّ صَلّ عَلَى آلِ اَبِى اَوْفَى. متفق عليه
Dari Abdullah bin Abu Aufa, ia berkata, "Adalah Rasulullah SAW, apabila ada suatu kaum datang kepada beliau untuk menyerahkan zakat, beliau mengucapkan Alloohumma Shalli 'alaihim (Ya Allah berilah shalawat kepada mereka). Kemudian ayahku Abu Aufa datang kepada beliau untuk menyerahkan zakatnya, lalu Nabi SAW mengucapkan Alloohumma Shalli 'alaa aali Abi Aufa (Ya Allah berilah shalawat kepada keluarganya Abu Aufa)". [HR. Muttafaq 'alaih].