Aku tidak tahu dimana berada. Meski sekian banyak manusia berada
disekelilingku, namun aku tetap merasa sendiri dan ketakutan. Aku masih
bertanya dan terus bertanya, tempat apa ini, dan buat apa semua manusia
dikumpulkan. Mungkinkah, ah aku tidak mau mengira-ngira.
Rasa takutku makin menjadi-jadi, tatkala seseorang yang tidak pernah
kukenal sebelumnya mendekati dan menjawab pertanyaan hatiku. "Inilah yang
disebut Padang Mahsyar," suaranya begitu menggetarkan jiwaku.
"Bagaimana ia bisa tahu pertanyaanku," batinku. Aku menggigil,
tubuhku terasa lemas, mataku tegang mencari perlindungan dari seseorang yang
kukenal.
Kusaksikan langit menghitam, sesaat kemudian bersinar kemilauan.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara menggema. Aku baru sadar, inilah hari penentuan,
hari dimana semua manusia akan menerima keputusan akan balasan dari amalnya
selama hidup didunia. Hari ini pula akan ditentukan nasib manusia selanjutnya,
surgakah yang akan dinikmati atau adzab neraka yang siap menanti.
Aku semakin takut. Namun ada debar dalam dadaku mengingat amal-amal
baikku didunia. Mungkinkah aku tergolong orang-orang yang mendapat kasih-Nya
atau jangan-jangan .........
Aku dan semua manusia lainnya masih menunggu keputusan dari Yang
menguasai hari pembalasan. Tak lama kemudian, terdengar lagi suara menggema
tadi yang mengatakan, bahwa sesaat lagi akan dibacakan daftar manusia-manusia
yang akan menemani Rasulullah SAW di surga yang indah. Lagi-lagi dadaku
berdebar, ada keyakinan bahwa namaku termasuk dalam daftar itu, mengingat
banyaknya infaq yang aku sedekahkan. Terlebih lagi, sewaktu didunia aku dikenal
sebagai juru dakwah. "Kalaulah banyak orang yang kudakwahi masuk surga,
apalagi aku," pikirku mantap.
Akhirnya, nama-nama itupun mulai disebutkan. Aku masih beranggapan bahwa
namaku ada dalam deretan penghuni surga itu, mengingat ibadah-ibadah dan
perbuatan-perbuatan baikku. Dalam daftar itu, nama Rasulullah Muhammad SAW
sudah pasti tercantum pada urutan teratas, sesuai janji Allah melalui Jibril,
bahwa tidak satupun jiwa yang masuk kedalam surga sebelum Muhammad masuk.
Setelah itu tersebutlah para Assabiquunal Awwaluun. Kulihat Fatimah Az
Zahra dengan senyum manisnya melangkah bahagia sebagai wanita pertama yang ke
surga, diikuti para istri-istri dan keluarga rasul lainnya.
Para nabi dan rasul Allah lainnya pun masuk dalam daftar tersebut. Yasir
dan Sumayyah berjalan tenang dengan predikat Syahid dan syahidah pertama dalam
Islam. Juga para sahabat lainnya, satu persatu para pengikut terdahulu Rasul
itu dengan bangga melangkah ke tempat dimana Allah akan membuka tabirnya. Yang
aku tahu, salah satu kenikmatan yang akan diterima para penghuni surga adalah
melihat wajah Allah. Kusaksikan para sahabat Muhajirin dan Anshor yang tengah
bersyukur mendapatkan nikmat tiada terhingga sebagai balasan kesetiaan berjuang
bersama Muhammad menegakkan risalah. Setelah itu tersebutlah para mukminin
terdahulu dan para syuhada dalam berbagai perjuangan pembelaan agama Allah.
Sementara itu, dadaku berdegub keras menunggu giliran. Aku terperanjat begitu
melihat rombongan anak-anak yatim dengan riang berlari untuk segera menikmati
kesegaran telaga kautsar. Beberapa dari mereka tersenyum sambil melambaikan
tangannya kepadaku. Sepertinya aku kenal mereka. Ya Allah, mereka anak-anak
yatim sebelah rumahku yang tidak pernah kuperhatikan. Anak-anak yang selalu
menangis kelaparan dimalam hari sementara sering kubuang sebagian makanan yang
tak habis kumakan.
"Subhanallah, itu tukang mie dekat kantorku," aku terperangah
melihatnya melenggang ke surga. Pemuda yang tidak pernah lulus SD itu pernah
bercerita, bahwa sebagian besar hasil dagangnya ia kririmkan untuk ibu dan
biaya sekolah empat adiknya. Pemuda yang rajin sholat itu, rela berpuasa
berhari-hari asal ibu dan adik-adiknya di kampung tidak kelaparan. Tiba-tiba,
orang yang sejak tadi disampingku berkata lagi, "Pemuda yang tukang mie
itu lebih baik dimata Allah. Ia bekerja untuk kebahagiaan orang lain."
Sementara aku, semua hasil keringatku semata untuk keperluanku.
Lalu berturut-turut lewat didepan mataku, penjual pecel yang kehadirannya
selalu kutolak, pengemis yang setiap hari lewat depan rumah dan selalu
mendapatkan kata "maaf" dari bibirku dibalik pagar rumahku. Orang
disampingku berbicara lagi seolah menjawab setiap pertanyaanku meski tidak kulontarkan,
"Mereka ihklas, tidak sakit hati serta tidak memendam kebencian meski kau
tolak."
Masya Allah murid-murid yang aku bina, mereka mendahuluiku ke surga.
Setelah itu, berbondong-bondong jamaah masjid-masjid tempat biasa aku
berceramah. "Mereka belajar kepadamu, lalu mereka amalkan. Sedangkan kau,
terlalu banyak berbicara dan sedikit mendengarkan. Padahal, lebih banyak yang
bisa dipelajari dengan mendengar dari pada berbicara," jelasnya lagi.
Aku semakin penasaran dan terus menunggu giliranku dipanggil. Seiring
dengan itu antrian manusia-manusia dengan wajah ceria, makin panjang. Tapi
sejauh ini, belum juga namaku terpanggil. Aku mulai kesal, aku ingin segera
bertemu Allah dan berkata, "Ya Allah, didunia aku banyak melakukan ibadah,
aku bershodaqoh, banyak membantu orang lain, banyak berdakwah, izinkan aku ke
surgaMu."
Orang dengan wajah bersinar disampingku itu hendak berbicara lagi, aku
ingin menolaknya. Tetapi, tanganku tak kuasa menahannya untuk berbicara.
"Ibadahmu bukan untuk Allah, tapi semata untuk kepentinganmu mendapatkan
surga Allah, shodaqohmu sebatas untuk memperjelas status sosial, dibalik
bantuanmu tersimpan keinginan mendapatkan penghargaan, dan dakwah yang kau
lakukan hanya berbekas untuk orang lain, tidak untukmu, juga dakwahmu
menyimpang dari Al-Qur’an dan Al-Hadist," bergetar tubuhku mendengarnya.
Anak-anak yatim, Pemuda penjual mie, Penjual pecel, pengemis tua,
murid-murid, jamaah masjid dan banyak lagi orang-orang yang sering kuanggap
tidak lebih baik dariku, mereka lebih dulu ke surga Allah. Padahal, aku sering
beranggapan, surga adalah balasan yang pantas untukku atas dakwah yang
kulakukan, infaq yang kuberikan, ilmu yang kuajarkan dan perbuatan baik
lainnya. Ternyata, aku tidak lebih tunduk dari pada mereka, tidak lebih ikhlas
dalam beramal dari pada mereka, tidak lebih bersih hati dari pada mereka,
sehingga aku tidak lebih dulu ke surga dari mereka.
Handphone dari salah seorang berbunyi . Aku tersentak bangun dan,
astaghfirullah ternyata Allah telah menasihatiku lewat mimpi malam ini. Aku
bertobat untuk membenahi apa yang telah kulakkan, dan aku pun berjanji bahwa
aku tidak akan berpaling dari Al-quran dan Al-Hadist.